Powered By Blogger

Jumat, 12 Juli 2013

MAKNA PAWIWAHAN

PAWIWAHAN MENURUT  HINDU BALI

*      PENGERTIAN PERKAWINAN/PAWIWAHAN:
Perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya Alaki rabi).  
Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha meliputi:
Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang”
artinya:
dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Susunan Perkawinan menantu garis kepurusaan (patrilinial). Sudah mencapai usia deha- teruna sedapat mungkin disesuaikan dengan Undang- undang No.: l tahun 1974. Adanya persetujuan kedua belah pihak calon mempelai. Gamya gamana yang berarti hubungan kekeluargaan vertikal horisontal dan pertalian semenda yang terdekat sampai batas- batas tertentu.

Cara melangsungkan Perkawinan.
 Cara melangsungkan Perkawinan ada 2 (dua) cara :
1.        Dengan cara biasa seperti: Pepadikan, ngerorod, jejangkepan, ngunggahin.
2.        Dengan cara khusus yaitu dengan cara nyeburin.
Sahnya Perkawinan Adanya penyangaskara dengan bhuta saksi dan Dewa saksi.  Adanya manusa saksi yaitu persaksian dari prajuru Adat. Akibat Hukum Perkawinan  Dalam Perkawinan biasa laki- laki berstatus sebagai purusa. Dalam perkawinan nyeburin, yang wanita berstatus purusa. Anak- anak yang lahir dari perkawinan termasuk keluarga purusa.
*      Tujuan Perkawinan / Wiwaha
Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).
Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.
Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri) haruslah saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni” berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.
Tugas dan Kewajiban Suami
Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih, mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva saradah satam (Atharvaveda XIV.1.52)
“Engkau istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak keturunan kita sepanjang masa”.
Suami hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin, merencanakan jumlah keluarga, menjadi pelindung keluarga dan figur yang dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-anaknya.
Tugas dan Kewajiban Istri
Samraajni svasure bhava, samraajni svasrvam bhava, nanandari samraajni bhava, samraajni adhi devrsu (Rgveda X.85.46)
“Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah tangga yang sesungguhnya, dampingilah (dengan baik) ayah ibu mertuamu, dampingilah (dengan baik) saudara saudari iparmu”.
Yantri raad yantri asi yamani, dhruvaa asi dharitrii (Yajurveda XIV.22)
“Wahai wanita jadilah pengawas keluarga yang cemerlang, tegakkanlah aturan keluarga, dan jadilah penopang keluarga”.
Viirasuup devakaamaa syonaa, sam no bhava dvipade, sam catuspade (Regveda X.85.43)
“Wahai wanita, lahirkanlah keturunan yang cerdas, gagah, dan berani, pujalah selalu Hyang Widhi, jadilah insan yang ramah dan menyenangkan kepada semua orang, dan peliharalah dengan baik hewan peliharaan keluarga”.

Seorang istri hendaknya selalu setia kepada suami, rajin dan taat dalam menjalankan puja bhakti kepada Hyang Widhi, melahirkan dan memelihara anak-anak agar cerdas gagah dan berani, selalu menopang keluarga dan menjalankan aturan dengan baik, berbicara dengan lemah lembut kepada semua orang, menghormati keluarga mertua, menjaga dan mengatur harta keluarga, tanaman, dan hewan peliharaan milik keluarga dengan baik. Bila demikian, niscaya keluarganya akan bahagia dan sejahtera selalu.
*      JENIS PERKAWINAN
Dalam Kitab Suci Hindu: Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:
Brahma Wiwaha: perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa Dharmasastra Bab III.27)
Ø  Dewa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.28)
Ø  Arsa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
Ø  Prajapatya Wiwaha: perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
Ø  Gandharwa wiwaha: perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)
Ø  Upacara Pawiwahan Sadampati
Upacara Pawiwahan Sadampati adalah upacara yang sangat sederhana, biayanya sedikit namun makna yang dikandung sangat tinggi, karena banten (upakara) yang digunakan dalam upacara pawiwahan ini mengandung simbol-simbol yang lengkap. Perkataan Sadampati terdiri dari rangkaian kata-kata: sa-dampa-ti masing-masing kata berarti sebagai berikut: sa = satu; dampa = tempat duduk/ bangku; ti = orang. Keseluruhan berarti: orang-orang yang duduk bersama dalam satu bangku untuk menikah. Acuan upacara ini adalah lontar: Dharma Kauripan.
Urutan Upacara Pernikahan
Upacara di rumah pengantin wanita:
1.       Masewaka / melamar
2.       Madik – Meminang
3.       Mabeakala
4.       Mepamit di mrajan / sanggah
5.       Upacara di rumah pengantin lelaki:
Ritual Pawiwahan
6.       Mareresik
7.       Mapiuning di Sanggar Surya
8.       Upacara suddi-wadhani
9.       Mabeakala
10.   Mapadamel
11.   Metapak oleh kedua orang tua
12.   Mejaya-jaya
13.   Ngaturang ayaban
14.   Natab peras sadampati
15.   Pemuspaan
16.   Nunas wangsuhpada/ bija
Banten yang digunakan sangat sederhana sebagai berikut:
ü  Beakala, simbol pensucian “sukla swanita” (calon jabang bayi) dan sebagai Bhuta saksi, yaitu bagian dari Trisaksi yakni: Bhuta, Dewa, dan Manusa Saksi.
ü  Tegteg daksina peras ajuman masing-masing di Sanggar Surya untuk mohon kesaksian Bhatara Surya/ Siwa, di Lebuh untuk mohon kesaksian Bhatara Wisnu, dan di arepan Pandita untuk mohon pemuput.
ü  Hulu banten berupa tegteg daksina peras ajuman di depan bale pawiwahan.
ü  Dua buah pajegan yaitu pajegan buah-buahan diletakkan di sebelah kanan sebagai simbol pradana, dan pajegan bunga-bungaan disebelah kiri sebagai simbol purusha.
ü  Taledan segi empat sebagai alas banten, simbol catur weda.
ü  Dua buah tumpeng, yaitu merah simbol kama bang (wanita) dan tumpeng putih simbol kama petak (laki-laki).
ü  Satu butir telur bebek rebus simbol calon janin diletakkan di tengah-tengah tumpeng dan ditancapi bunga warna merah dan putih.
ü  Kalungan bunga merah putih simbol kekuatan ikatan perkawinan.
ü  Segehan aperancak sebanyak 5 tanding masing-masing diletakkan dibawah sanggar surya, beakala, bale pawedaan, bale pawiwahan, dan di lebuh, sebagai haturan kepada bhuta kala.
ü  Tegteg daksina peras ajuman di kamar tidur pengantin untuk mohon perlindungan kepada Bethara Semara-Ratih agar pengantin dilindungi dari mara bahaya dalam melaksanakan pawiwahan.
ü  Tata pelaksanaan Upacaranya adalah Pandita ngarga tirta, mareresik, dan mapiuning ke sanggar surya dan lebuh, kemudian pengantin mabeakala, setelah itu pengantin menghadapi bale pawiwahan untuk natab banten pawiwahan sadampati. Sebelumnya pengantin dikalungi bunga.
ü  Setelah natab, telur bebek dikupas dan diberikan makan kepada pengantin; pengantin mejaya-jaya, terus muspa, mabija, mawangsuh pada. Pandita memberikan dharma wacana tentang susila pengantin kepada kedua mempelai. Pandita mapuja banten yang ada di kamar tidur pengantin.
Nb.
Ø  madelokan (kedua mempelai pulang menjengguk keluarga wanita, biasanya dilaksanakan setelah H+3 Pernikahan)
Ø  setiap Desa Adat/Desa Kala Patra di Bali memiliki tata cara upacara perkawinan, tergantung dari kepercayaan masyarakat namun tidak terlepas dari Sastra/Kitab Suci

Rabu, 10 Juli 2013

WACANA BALI



ANALISIS WACANA BALI PADA SATUA
I TUMA TEKEN I TITIH


A.LADASAN TEORI
Istilah “wacana” berasal dari bahasa inggris ‘discourse’ ( Dede oetomo, 1993:3 ). Kata ‘discourse’ yang berarti lari kesana-kemari, lari bolak-balik. Sedangkan menurut HG Tarigan ( 1987:27 )mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling lemgkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Dalam satuan kebahasaan atau hierarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi ( Harimurti Kridalaksana, 1984:334).
Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti : fonem, morfem, frasa, klausa, dan kalimat.
      
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam ( internal ) dan unsur luar (eksternal ). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.

a.      Unsur-Unsur Internal Wacana
Unsur internal suatu wacana terdiri atas satuan kata dan kalimat. Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu memiliki beberapa aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek yang dimaksud, antara lain, adalah kohesi, koherensi, topic wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis dan aspek semantis.

ü  Kohesi
Dalam konteks wacana, kohesi diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara structural membentuk suatu ikatan sintaksis. Kohesi wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain menyangkut referensi, substitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan sinonim, repetisi, ekuivalensi dan kolokasi ( Halliday, 1976:21 ).
-           Referensi ( penunjukan ) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata/kelompok kata/satuan gramatikal lainnya ( M. Ramlan, 1993 : 12 ). Dalam konteks wacana, penunjukkan terbagi atas dua jenis, yaitu penunjukan eksoforik ( di luar teks ) dan penunjukan endoforik ( di dalam teks ). Dalam aspek referensi terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronominal ( kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lannya ).
-          Substitusi ( penggantian ) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar.
-          Elipsis ( penghilangan/pelepasan ) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Unsur yang biasanya dilepaskan dalam suatu kalimat ialah subyek dan predikat ( Fokker, 1988:88 ).
-          Konjungsi ( kata sambung ) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya ( Harimurti Kridalaksana, 1984:105; HG Tarigan, 1987:101 ).
Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
ü  Koherensi
Istilah ‘koherensi’ mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep kecacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat ( HG Tarigan,1987:32 ). Koherensi juga berarti hubungan timbale balik yang serasi antarunsur dalam kalimat ( Gorys Keraf, 1984:38). Wacana yang koheren memiliki cirri-ciri : susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi sehingga mudah diinterpretasikan ( Samiati, 1989:5 ).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi bisa terjadi secara implicit ( terselubung ) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Hubungan koherensi dapat dipahami dengan menyimpulkan hubungan antarproposi dalam tubuh wacana itu.
Hubungan maknawi kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa penanda. Hubungan semantis yang dimaksud antar bagian dalam wacana yang bersifat koheren, yakni sebagai berikut :
1. Hubungan Sebab-Akibat
2. Hubungan Sarana-Hasil
3. Hubungan Alasan-Sebab
4. Hubungan Sarana-Tujuan
5. Hubungan Latar-Kesimpulan
6. Hubungan Kelonggaran-Hasil
7. Hubungan Syarat-Hasil
8.  Hubungan Perbandingan
9. Hubungan Parafrastis
10. Hubungan Amplikatif
11. Hubungan Aditif Waktu ( Simultan dan Beruntun )
12. Hubungan Adiktif Non Waktu
13. Hubungan Identifikasi
14. Hubungan Generik-Spesifik
15. Hubungan Ibarat
b.      Unsur-Unsur Eksternal Wacana
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana ini terdiri atas implikatur, presposisi, referensi, interferensi, dan konteks. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana.

  • Implikatur

     Grice ( dalam Soeseno, 1993:30) mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

  •  Presuposisi

     Istilah presuposisi adalah turunan dari bahasa inggris presupposition, yang berarti ‘perkiraan, persangkaan’ ( PWJ Nababan, 1987:47 ). Konsep ini muncul bermula dari perdebatan panjang tentang ‘hakikat rujukan’ ( yaitu apa-apa, sesuatu, benda, keadaan, dan sebagainya) yang ditunjuk oleh kata, frase, kalimat, atau ungkapan lainnya).

  • Referensi

     Secara tradisional, referensi adalah hubungan antara kata dengan benda ( orang, tumbuhan, sesuatu yang lainnya ) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya.

  •  Inferensi

     Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan ( Echols dan Hassan, 1987:320 ). Dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis ( Anton M. Moeliono, ed., 1988:358 ). Untuk memahami atau menafsirkan wacana yang mengandung inferensi, dapat diterapkan dua prinsip, yaitu prinsip analogi ( PA ) dan prinsip penafsiran local ( PPL ). Prinsip analogi ( PA ) adalah cara menafsirkan makna wacana yang didasarkan pada akal atau pengetahuan dan pengalaman umumnya ( knowledge of world ). Sedangkan prinsip penafsiran local ( PPL ) menganjurkan kepada pembaca untuk memahami wacana berdasarkan “konteks local” yang melingkupi wacana itu sendiri.

  • Konteks

     Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alas an terjadinya suatu pembicaraan/dialog.

                                                      KONTEKS


B.     ANALISIS WACANA SATUA I TUMA TEKEN I TITIH
a.      Satua
TUMA TEKEN TITIH
Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
Masaut I Tuma, “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine, bapa nyak ngajak cai dini. Kewala ene ingetang pitutur bapane. Eda pesan cai ngulurin lobhan keneh caine. Anake ane lobha, tusing buungan lakar nepukin sengkala. Lenan teken ento, tusing pesan dadi iri hati, kerana doyan liu ngelah musuh. Apang cai bisa malajahang kadharman.” Keto pamunyinne I Tuma teken I Titih. Jani suba ia makakasihan. I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi.
Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.
b.      Analisis Unsur Internal Wacana
1.      Kohesi
Dalam konteks wacana, kohesi diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara structural membentuk suatu ikatan sintaksis. Kohesi wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain menyangkut referensi, substitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan sinonim, repetisi, dan kolokasi. Sehingga analisis pada wacana ini, yaitu :
-   Referensi
     Keutuhan wacana pada aspek Referensi dapat kita lihat pada paragraph 1, kalimat ke-2 yaitu : “Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh”. Pada kata ia pada kalimat kedua bersifat anaforis, yaitu menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kacerita ada tuma. Selanjutnya pada paragraph kedua kalimat ketiga yaitu “Eda pesan cai ngulurin lobhan keneh caine”. Pada kata cai pada kalimat kedua bersifat anaforis, yaitu menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine” dan seterusnya.
-   Substitusi
Keutuhan wacana pada aspek Substitusi dapat dilihat pada paragraph kesatu kalimat ketujuh yaitu “Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone.” Pada kata iriki, merupakan penggantian dari tempat dalam cerita tersebut yaitu di lepitan tilam anake agung.
-   Elipsis
Keutuhan wacana pada aspek Elipsis dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu “Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.” Pada kalimat diatas, kalimat kedua merupakan ellipsis, kalimat ini muncul karena sesuatu yang termuat dalam kalimat sebelumnya.
-   Konjungsi
Keutuhan wacana pada aspek Konjungsi dapat dilihat pada paragraph pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
Bentuk nanging yang terdapat pada kalimat ketiga dan ketujuh adalah penanda konjungsi yang berfungsi untuk menghubungkannya dengan kalimat sebelumnya. Keberadaanya mengakibatkan terjadinya kepaduan bentuk sekaligus makna diantara dua kalimat tersebut.
-   Reiterasi
Keutuhan wacana pada aspek Reiterasi yang berkenaan dengan sinonim, antonin, akronim, hiponim dan lain-lain yaitu pada paragraph kedua :
“I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi. “
Pada bentuk merem-mereman memiliki sinonim dengan bentuk sirep. Sehingga kedua bentuk ini memiliki makna yang sama tetapi bentu yang berbeda.
-   Repetisi
Keutuhan wacana pada aspek Repetisi dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu:
“Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.”
Pengulangan bentuk terjadi pada kalimat kesatu dan kedua yaitu bentuk parekane dan ngeliin pada kalimat pertama sedangkan bentuk matianga pada kalimat kedua.
-   Kolokasi
Keutuhan wacana pada aspek Kolokasi dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu :
“Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.”
Pada bentuk lua muani merupakan bentuk persandingan kata.
-   Ekuivalensi
Keutuhan wacana pada aspek Ekuivalensi dapat dilihat pada paragraph terakhir kalimat kedua yaitu :
Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga.”
Bentuk kebitanga merupakan bentuk yang dikembangkan dari sebuah morfem pangkal kebit.

2.      Koherensi
1.      Hubungan Sebab-Akibat
Hubungan sebab-akibat pada wacana satua ini dapat dilihat pada paragraf pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh”.
                        Pada kedua kalimat ini memiliki pola hubungan sebab akibat yang jelas, yaitu                     I Tuma mokoh krana ia nongos di lepitan tilam anake agung.
                        Bentuk yang lain, yaitu :
“Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi.
Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga.”
Pada kedua paragraf ini memiliki pola hubungan sebab akibat yang jelas, yaitu I Tuma teken I Titih matianga sawireh I Titih kaliwat bengkung sinah matianga teken parekan Anake Agung.
2.      Hubungan Perbandingan
Hubungan perbandingan dapat dilihat pada paragraf pertama yaitu :
            “Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
Pada bentuk yang digaris bawahi merupakan hubungan perbandingan.