Powered By Blogger

Rabu, 10 Juli 2013

WACANA BALI



ANALISIS WACANA BALI PADA SATUA
I TUMA TEKEN I TITIH


A.LADASAN TEORI
Istilah “wacana” berasal dari bahasa inggris ‘discourse’ ( Dede oetomo, 1993:3 ). Kata ‘discourse’ yang berarti lari kesana-kemari, lari bolak-balik. Sedangkan menurut HG Tarigan ( 1987:27 )mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling lemgkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Dalam satuan kebahasaan atau hierarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi ( Harimurti Kridalaksana, 1984:334).
Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti : fonem, morfem, frasa, klausa, dan kalimat.
      
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam ( internal ) dan unsur luar (eksternal ). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.

a.      Unsur-Unsur Internal Wacana
Unsur internal suatu wacana terdiri atas satuan kata dan kalimat. Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu memiliki beberapa aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek yang dimaksud, antara lain, adalah kohesi, koherensi, topic wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis dan aspek semantis.

ü  Kohesi
Dalam konteks wacana, kohesi diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara structural membentuk suatu ikatan sintaksis. Kohesi wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain menyangkut referensi, substitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan sinonim, repetisi, ekuivalensi dan kolokasi ( Halliday, 1976:21 ).
-           Referensi ( penunjukan ) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata/kelompok kata/satuan gramatikal lainnya ( M. Ramlan, 1993 : 12 ). Dalam konteks wacana, penunjukkan terbagi atas dua jenis, yaitu penunjukan eksoforik ( di luar teks ) dan penunjukan endoforik ( di dalam teks ). Dalam aspek referensi terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronominal ( kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lannya ).
-          Substitusi ( penggantian ) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar.
-          Elipsis ( penghilangan/pelepasan ) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Unsur yang biasanya dilepaskan dalam suatu kalimat ialah subyek dan predikat ( Fokker, 1988:88 ).
-          Konjungsi ( kata sambung ) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya ( Harimurti Kridalaksana, 1984:105; HG Tarigan, 1987:101 ).
Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
ü  Koherensi
Istilah ‘koherensi’ mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep kecacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat ( HG Tarigan,1987:32 ). Koherensi juga berarti hubungan timbale balik yang serasi antarunsur dalam kalimat ( Gorys Keraf, 1984:38). Wacana yang koheren memiliki cirri-ciri : susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi sehingga mudah diinterpretasikan ( Samiati, 1989:5 ).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi bisa terjadi secara implicit ( terselubung ) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Hubungan koherensi dapat dipahami dengan menyimpulkan hubungan antarproposi dalam tubuh wacana itu.
Hubungan maknawi kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa penanda. Hubungan semantis yang dimaksud antar bagian dalam wacana yang bersifat koheren, yakni sebagai berikut :
1. Hubungan Sebab-Akibat
2. Hubungan Sarana-Hasil
3. Hubungan Alasan-Sebab
4. Hubungan Sarana-Tujuan
5. Hubungan Latar-Kesimpulan
6. Hubungan Kelonggaran-Hasil
7. Hubungan Syarat-Hasil
8.  Hubungan Perbandingan
9. Hubungan Parafrastis
10. Hubungan Amplikatif
11. Hubungan Aditif Waktu ( Simultan dan Beruntun )
12. Hubungan Adiktif Non Waktu
13. Hubungan Identifikasi
14. Hubungan Generik-Spesifik
15. Hubungan Ibarat
b.      Unsur-Unsur Eksternal Wacana
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana ini terdiri atas implikatur, presposisi, referensi, interferensi, dan konteks. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana.

  • Implikatur

     Grice ( dalam Soeseno, 1993:30) mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

  •  Presuposisi

     Istilah presuposisi adalah turunan dari bahasa inggris presupposition, yang berarti ‘perkiraan, persangkaan’ ( PWJ Nababan, 1987:47 ). Konsep ini muncul bermula dari perdebatan panjang tentang ‘hakikat rujukan’ ( yaitu apa-apa, sesuatu, benda, keadaan, dan sebagainya) yang ditunjuk oleh kata, frase, kalimat, atau ungkapan lainnya).

  • Referensi

     Secara tradisional, referensi adalah hubungan antara kata dengan benda ( orang, tumbuhan, sesuatu yang lainnya ) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya.

  •  Inferensi

     Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan ( Echols dan Hassan, 1987:320 ). Dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis ( Anton M. Moeliono, ed., 1988:358 ). Untuk memahami atau menafsirkan wacana yang mengandung inferensi, dapat diterapkan dua prinsip, yaitu prinsip analogi ( PA ) dan prinsip penafsiran local ( PPL ). Prinsip analogi ( PA ) adalah cara menafsirkan makna wacana yang didasarkan pada akal atau pengetahuan dan pengalaman umumnya ( knowledge of world ). Sedangkan prinsip penafsiran local ( PPL ) menganjurkan kepada pembaca untuk memahami wacana berdasarkan “konteks local” yang melingkupi wacana itu sendiri.

  • Konteks

     Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alas an terjadinya suatu pembicaraan/dialog.

                                                      KONTEKS


B.     ANALISIS WACANA SATUA I TUMA TEKEN I TITIH
a.      Satua
TUMA TEKEN TITIH
Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
Masaut I Tuma, “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine, bapa nyak ngajak cai dini. Kewala ene ingetang pitutur bapane. Eda pesan cai ngulurin lobhan keneh caine. Anake ane lobha, tusing buungan lakar nepukin sengkala. Lenan teken ento, tusing pesan dadi iri hati, kerana doyan liu ngelah musuh. Apang cai bisa malajahang kadharman.” Keto pamunyinne I Tuma teken I Titih. Jani suba ia makakasihan. I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi.
Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.
b.      Analisis Unsur Internal Wacana
1.      Kohesi
Dalam konteks wacana, kohesi diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara structural membentuk suatu ikatan sintaksis. Kohesi wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain menyangkut referensi, substitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan sinonim, repetisi, dan kolokasi. Sehingga analisis pada wacana ini, yaitu :
-   Referensi
     Keutuhan wacana pada aspek Referensi dapat kita lihat pada paragraph 1, kalimat ke-2 yaitu : “Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh”. Pada kata ia pada kalimat kedua bersifat anaforis, yaitu menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kacerita ada tuma. Selanjutnya pada paragraph kedua kalimat ketiga yaitu “Eda pesan cai ngulurin lobhan keneh caine”. Pada kata cai pada kalimat kedua bersifat anaforis, yaitu menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine” dan seterusnya.
-   Substitusi
Keutuhan wacana pada aspek Substitusi dapat dilihat pada paragraph kesatu kalimat ketujuh yaitu “Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone.” Pada kata iriki, merupakan penggantian dari tempat dalam cerita tersebut yaitu di lepitan tilam anake agung.
-   Elipsis
Keutuhan wacana pada aspek Elipsis dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu “Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.” Pada kalimat diatas, kalimat kedua merupakan ellipsis, kalimat ini muncul karena sesuatu yang termuat dalam kalimat sebelumnya.
-   Konjungsi
Keutuhan wacana pada aspek Konjungsi dapat dilihat pada paragraph pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
Bentuk nanging yang terdapat pada kalimat ketiga dan ketujuh adalah penanda konjungsi yang berfungsi untuk menghubungkannya dengan kalimat sebelumnya. Keberadaanya mengakibatkan terjadinya kepaduan bentuk sekaligus makna diantara dua kalimat tersebut.
-   Reiterasi
Keutuhan wacana pada aspek Reiterasi yang berkenaan dengan sinonim, antonin, akronim, hiponim dan lain-lain yaitu pada paragraph kedua :
“I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi. “
Pada bentuk merem-mereman memiliki sinonim dengan bentuk sirep. Sehingga kedua bentuk ini memiliki makna yang sama tetapi bentu yang berbeda.
-   Repetisi
Keutuhan wacana pada aspek Repetisi dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu:
“Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.”
Pengulangan bentuk terjadi pada kalimat kesatu dan kedua yaitu bentuk parekane dan ngeliin pada kalimat pertama sedangkan bentuk matianga pada kalimat kedua.
-   Kolokasi
Keutuhan wacana pada aspek Kolokasi dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu :
“Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.”
Pada bentuk lua muani merupakan bentuk persandingan kata.
-   Ekuivalensi
Keutuhan wacana pada aspek Ekuivalensi dapat dilihat pada paragraph terakhir kalimat kedua yaitu :
Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga.”
Bentuk kebitanga merupakan bentuk yang dikembangkan dari sebuah morfem pangkal kebit.

2.      Koherensi
1.      Hubungan Sebab-Akibat
Hubungan sebab-akibat pada wacana satua ini dapat dilihat pada paragraf pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh”.
                        Pada kedua kalimat ini memiliki pola hubungan sebab akibat yang jelas, yaitu                     I Tuma mokoh krana ia nongos di lepitan tilam anake agung.
                        Bentuk yang lain, yaitu :
“Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi.
Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga.”
Pada kedua paragraf ini memiliki pola hubungan sebab akibat yang jelas, yaitu I Tuma teken I Titih matianga sawireh I Titih kaliwat bengkung sinah matianga teken parekan Anake Agung.
2.      Hubungan Perbandingan
Hubungan perbandingan dapat dilihat pada paragraf pertama yaitu :
            “Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
Pada bentuk yang digaris bawahi merupakan hubungan perbandingan.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar