ANALISIS WACANA BALI PADA SATUA
I TUMA TEKEN I TITIH
A.LADASAN
TEORI
Istilah “wacana” berasal dari bahasa inggris ‘discourse’ ( Dede oetomo, 1993:3 ). Kata
‘discourse’ yang berarti lari kesana-kemari, lari bolak-balik. Sedangkan
menurut HG Tarigan ( 1987:27 )mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa
yang paling lemgkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan
koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan
dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Dalam satuan kebahasaan atau
hierarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan
paling tinggi ( Harimurti Kridalaksana, 1984:334).
Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan
unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti : fonem, morfem,
frasa, klausa, dan kalimat.
a. Unsur-Unsur
Internal Wacana
Unsur internal suatu wacana terdiri atas satuan
kata dan kalimat. Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu memiliki
beberapa aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek yang dimaksud, antara
lain, adalah kohesi, koherensi, topic wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal,
aspek fonologis dan aspek semantis.
ü Kohesi
Dalam konteks wacana, kohesi diartikan sebagai
kepaduan bentuk yang secara structural membentuk suatu ikatan sintaksis. Kohesi
wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Kohesi gramatikal antara lain menyangkut referensi, substitusi, ellipsis,
konjungsi, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan sinonim, repetisi,
ekuivalensi dan kolokasi ( Halliday, 1976:21 ).
-
Referensi ( penunjukan ) merupakan bagian
kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata
untuk menunjuk kata/kelompok kata/satuan gramatikal lainnya ( M. Ramlan, 1993 :
12 ). Dalam konteks wacana, penunjukkan terbagi atas dua jenis, yaitu
penunjukan eksoforik ( di luar teks ) dan penunjukan endoforik ( di dalam teks
). Dalam aspek referensi terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronominal ( kata
ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lannya ).
-
Substitusi
( penggantian ) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur
lain dalam satuan yang lebih besar.
-
Elipsis (
penghilangan/pelepasan ) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan
kebahasaan lain. Unsur yang biasanya dilepaskan dalam suatu kalimat ialah
subyek dan predikat ( Fokker, 1988:88 ).
-
Konjungsi (
kata sambung ) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai
penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frase dengan
frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya ( Harimurti
Kridalaksana, 1984:105; HG Tarigan, 1987:101 ).
Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah
hubungan leksikal antara bagian-bagian-bagian wacana untuk mendapatkan
keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal
itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan
informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
ü Koherensi
Istilah ‘koherensi’ mengandung makna ‘pertalian’.
Dalam konsep kecacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat ( HG
Tarigan,1987:32 ). Koherensi juga berarti hubungan timbale balik yang serasi
antarunsur dalam kalimat ( Gorys Keraf, 1984:38). Wacana yang koheren memiliki
cirri-ciri : susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi sehingga mudah
diinterpretasikan ( Samiati, 1989:5 ).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian
fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi bisa
terjadi secara implicit ( terselubung ) karena berkaitan dengan bidang makna
yang memerlukan interpretasi. Hubungan koherensi dapat dipahami dengan
menyimpulkan hubungan antarproposi dalam tubuh wacana itu.
Hubungan maknawi kadang-kadang ditandai oleh
alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa penanda. Hubungan semantis yang
dimaksud antar bagian dalam wacana yang bersifat koheren, yakni sebagai berikut
:
1. Hubungan Sebab-Akibat
2. Hubungan Sarana-Hasil
3. Hubungan Alasan-Sebab
4. Hubungan Sarana-Tujuan
5. Hubungan Latar-Kesimpulan
6. Hubungan Kelonggaran-Hasil
7. Hubungan Syarat-Hasil
8.
Hubungan Perbandingan
9. Hubungan Parafrastis
10. Hubungan Amplikatif
11. Hubungan Aditif Waktu ( Simultan dan Beruntun
)
12. Hubungan Adiktif Non Waktu
13. Hubungan Identifikasi
14. Hubungan Generik-Spesifik
15. Hubungan Ibarat
b. Unsur-Unsur
Eksternal Wacana
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang
menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada
di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap
kebutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana ini terdiri atas implikatur,
presposisi, referensi, interferensi, dan konteks. Analisis dan pemahaman
terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana.
- Implikatur
Grice (
dalam Soeseno, 1993:30) mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang
menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang
berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara
eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau
ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
- Presuposisi
Istilah
presuposisi adalah turunan dari bahasa inggris presupposition, yang berarti ‘perkiraan,
persangkaan’ ( PWJ Nababan, 1987:47 ). Konsep ini muncul bermula dari
perdebatan panjang tentang ‘hakikat
rujukan’ ( yaitu apa-apa, sesuatu, benda, keadaan, dan sebagainya) yang
ditunjuk oleh kata, frase, kalimat, atau ungkapan lainnya).
- Referensi
Secara
tradisional, referensi adalah hubungan antara kata dengan benda ( orang,
tumbuhan, sesuatu yang lainnya ) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku
pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak
pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang
diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya.
- Inferensi
Inferensi atau inference secara leksikal berarti
kesimpulan ( Echols dan Hassan, 1987:320 ). Dalam bidang wacana, istilah itu
berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang
secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh
pembicara/penulis ( Anton M. Moeliono, ed., 1988:358 ). Untuk memahami atau
menafsirkan wacana yang mengandung inferensi, dapat diterapkan dua prinsip,
yaitu prinsip analogi ( PA ) dan prinsip penafsiran local ( PPL ). Prinsip
analogi ( PA ) adalah cara menafsirkan makna wacana yang didasarkan pada akal
atau pengetahuan dan pengalaman umumnya (
knowledge of world ). Sedangkan prinsip penafsiran local ( PPL )
menganjurkan kepada pembaca untuk memahami wacana berdasarkan “konteks local” yang melingkupi wacana
itu sendiri.
- Konteks
Konteks
ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap
sebagai sebab dan alas an terjadinya suatu pembicaraan/dialog.
KONTEKS
B.
ANALISIS WACANA SATUA I TUMA TEKEN I TITIH
a. Satua
TUMA
TEKEN TITIH
Kacarita
ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan
ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding
anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma.
Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang,
ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang
setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone
ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang
pacang ngiring sapituduh jerone.”
Masaut
I Tuma, “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine, bapa nyak ngajak
cai dini. Kewala ene ingetang pitutur bapane. Eda pesan cai ngulurin lobhan
keneh caine. Anake ane lobha, tusing buungan lakar nepukin sengkala. Lenan
teken ento, tusing pesan dadi iri hati, kerana doyan liu ngelah musuh. Apang
cai bisa malajahang kadharman.” Keto pamunyinne I Tuma teken I Titih. Jani suba
ia makakasihan. I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu,
ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih
Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I
Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung.
Ida anake agung tengkejut lantas matangi.
Ditu
ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara
kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin
alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat
mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret
indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.
b. Analisis Unsur Internal Wacana
1. Kohesi
Dalam konteks wacana, kohesi diartikan sebagai
kepaduan bentuk yang secara structural membentuk suatu ikatan sintaksis. Kohesi
wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Kohesi gramatikal antara lain menyangkut referensi, substitusi, ellipsis,
konjungsi, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan sinonim, repetisi, dan
kolokasi. Sehingga analisis pada wacana ini, yaitu :
- Referensi
Keutuhan wacana pada aspek Referensi dapat
kita lihat pada paragraph 1, kalimat ke-2 yaitu : “Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh”. Pada
kata ia pada kalimat kedua bersifat anaforis, yaitu menunjuk pada unsur lain
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kacerita
ada tuma. Selanjutnya pada paragraph kedua kalimat ketiga
yaitu “Eda pesan cai ngulurin lobhan
keneh caine”. Pada kata cai pada
kalimat kedua bersifat anaforis,
yaitu menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong
caine” dan seterusnya.
- Substitusi
Keutuhan wacana pada aspek Substitusi dapat
dilihat pada paragraph kesatu kalimat ketujuh yaitu “Yan wantah jerone ledang, titiang
sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone.”
Pada kata iriki, merupakan
penggantian dari tempat dalam cerita tersebut yaitu di lepitan tilam anake agung.
- Elipsis
Keutuhan
wacana pada aspek Elipsis dapat dilihat pada paragraph terakhir, yaitu “Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma
ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan
urungan lakar nepukin sengkala.” Pada kalimat diatas, kalimat kedua
merupakan ellipsis, kalimat ini muncul karena sesuatu yang termuat dalam
kalimat sebelumnya.
- Konjungsi
Keutuhan
wacana pada aspek Konjungsi dapat dilihat pada paragraph pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di
lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung,
kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung.
Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I
Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang
jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang
setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone
ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang
pacang ngiring sapituduh jerone.”
Bentuk nanging
yang terdapat pada kalimat ketiga dan ketujuh adalah penanda konjungsi yang
berfungsi untuk menghubungkannya dengan kalimat sebelumnya. Keberadaanya
mengakibatkan terjadinya kepaduan bentuk sekaligus makna diantara dua kalimat
tersebut.
- Reiterasi
Keutuhan wacana pada aspek Reiterasi yang
berkenaan dengan sinonim, antonin, akronim, hiponim dan lain-lain yaitu pada
paragraph kedua :
“I Titih lega pesan kenehne dadi
sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I
Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake
agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi
orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut
lantas matangi. “
Pada
bentuk merem-mereman memiliki sinonim
dengan bentuk sirep. Sehingga kedua
bentuk ini memiliki makna yang sama tetapi bentu yang berbeda.
- Repetisi
Keutuhan wacana pada aspek Repetisi dapat dilihat
pada paragraph terakhir, yaitu:
“Ditu ida ngandikang parekanne
ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga
di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin
alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga.
Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa
ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.”
Pengulangan bentuk terjadi pada kalimat kesatu
dan kedua yaitu bentuk parekane dan ngeliin pada kalimat pertama sedangkan
bentuk matianga pada kalimat kedua.
- Kolokasi
Keutuhan wacana pada aspek Kolokasi dapat dilihat
pada paragraph terakhir, yaitu :
“Ditu ida ngandikang parekanne
ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame,
tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina
I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I
Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan
lakar nepukin sengkala.”
Pada bentuk lua
muani merupakan bentuk persandingan kata.
- Ekuivalensi
Keutuhan wacana pada aspek Ekuivalensi dapat
dilihat pada paragraph terakhir kalimat kedua yaitu :
“Mara
kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga.”
Bentuk
kebitanga merupakan bentuk yang
dikembangkan dari sebuah morfem pangkal kebit.
2. Koherensi
1.
Hubungan
Sebab-Akibat
Hubungan sebab-akibat pada wacana satua ini dapat
dilihat pada paragraf pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di
lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung,
kanti mokoh”.
Pada
kedua kalimat ini memiliki pola hubungan sebab akibat yang jelas, yaitu I Tuma mokoh krana ia nongos di lepitan tilam anake agung.
Bentuk yang lain, yaitu :
“Sedek dina anu, ida anake agung
merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu
ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung,
tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung
tengkejut lantas matangi.
Ditu ida ngandikang
parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan
tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga.”
Pada
kedua paragraf ini memiliki pola hubungan sebab akibat yang jelas, yaitu I Tuma teken I Titih matianga sawireh I
Titih kaliwat bengkung sinah matianga teken parekan Anake Agung.
2.
Hubungan
Perbandingan
Hubungan perbandingan dapat dilihat pada paragraf
pertama yaitu :
“Kacarita ada tuma, nongos di
lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung,
kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia
ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih
matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone
wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan
amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang
sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring
sapituduh jerone.”
Pada bentuk yang digaris bawahi merupakan
hubungan perbandingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar